Tuntunan Sunnah : Asal Jual Beli Harus dari Pemilik

- 13.31

Tuntunan Sunnah : Asal Jual Beli Harus dari Pemilik

 
Tuntunan Sunnah : Asal Jual Beli Perlu dari Pemilik
Asal Jual Beli Perlu dari Pemilik - Goresan pena di artikel ini Admin ambil dari milis PengusahaMuslim.com, serta di artikel ini membahas ihwal kaidah seputar jual beli terkait syarat sah jual beli, pelaku akad Perlu pemilik ataupun wakilnya. Serta goresan pena ini Amat cocok bagi atau bisa juga dikatakan untuk tatacara Sahabat dalam usaha baik itu online maupun offline. Selamat membaca!
Kaidah menyatakan, hukum asal, Tak sah jual beli kecuali oleh pemilik ataupun wakil dari pemilik. maksudnya merupakan menjdai berikut : Kaidah ini berlaku baik bagi pedagang ataupun pembali. Syarat pedagang berguna dia Perlu mempunyai barang ataupun wakilnya. Serta syarat pembeli, dia Perlu pemilik uang ataupun wakilnya.
Asal Jual Beli Harus dari Pemilik
Asal Jual Beli Perlu dari Pemilik

Kaidah jual beli ini hubungannya yang dengannya melindungi hak orang lain. Lantaran harta milik orang lain, tak boleh diganggu, apalagi ditransaksikan tanpa seizin pemiliknya. Dari bu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sebenarnya darah sesama anda sekalian, harta sesama anda sekalian merupakan haram bagi atau bisa juga dikatakan untuk anda sekalian langgar. Sebagaimana kemulilaan hari anda sekalian ini (idul adha), di bulan anda sekalian ini (Dzulhijjah), serta tanah anda sekalian ini (tanah haram Mekah). (HR. Bukhari 1741 serta Muslim 4477)
4 Istilah Wakil Bagi Pemilik
Ada 4 istilah wakil bagi pemilik dalam transaksi,
  1. Orang yng dipasrahi mengelola harta dari orang yng hidup serta telah dewasa. Diistilahkan yang dengannya wakil.
  2. Orang yng dipasrahi mengelola harta dari anak kecil. Baik anak yatim ataupun bukan. Diistilahkan yang dengannya wali.
  3. Orang yng dipasrahi mengelola harta dari orang yng sudah meninggal, semisal membagi warisan, ataupun melunasi utang, serta seterusnya. yng diistilahkan yang dengannya washi (orang yng diberi wasiat).
  4. Orang yng diamanahi bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengurus wakaf, baik dari pemerintah ataupun dari pemiliknya. Disebut nadzir wakaf (pengelola wakaf).
Hadis Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu
Satu dari sekian banyaknya hadis yng tidak sedikit dijadikan acuan dalam kajian fikih muamalah merupakan hadis Hakim bin Hizam. Beliau pernah bercerita,
Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sampaikan, ‘Ada orang yng mendatangiku, memintaku bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyediakan barang yng tak aku punyai. Bolehkah saya belikan barang itu dipasar, lantas aku jual barang itu kepadanya?’
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Janganlah anda menjual barang yng tak anda punyai.” (HR. Ahmad 15705, Nasai 4630, Abu Daud 3505, serta dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melarangku bagi atau bisa juga dikatakan untuk menjual barang yng tak aku punyai.” (HR. Turmudzi 1280 serta dishahihkan al-Albani).
Disaat membawakan hadis ini, Turmudzi menyatakan, Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Orang-orang membenci seseorang menjual apa yng tak dia punyai. (Sunan at-Turmudzi , 5/142)
Baca pun : Ini Dia Kabar Terbaru, Bisnis Kreatif Kurir Sepeda
Transaksi Jual Beli Yng Tak Sejalan yang dengannya Kaidah
Terdapat beberapa transaksi jual beli, yng barangnya tak dimiliki pejual disaat akad. Akan tetapi transaksi ini dibolehkan syariat.
Pertama, Bai’ Salam
Dalam jual beli salam, pembeli membayar tunai di muka, sementara barang diserahkan pedagang secara tertunda. Menjadikan, disaat transaksi salam terlaksana, pedagang percis sekali tak mempunyai barang yng dia jual.
Serta jual beli salam dibolehkan yang dengannya sepakat ulama. Didasari hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Siapa yng melakukan transaksi salaf bagi atau bisa juga dikatakan untuk kurma, maka hendaknya dia tentukan takarannya, timbangannya, serta saatnya. (HR. Bukhari 2239 & Muslim 4202)
Ibnul Mundzir menukil adanya ijma’ ihwal hukum transaksi salam,
Ulama yng kami ketahui sepakat bahwasanya jual beli salam itu dibolehkan. (Dinukil dari al-Mughni, 4/185)
Yng menjadi pertanyaan, bukankah orang yng melakukan transaksi salam, tak mempunyai barang? Lalu kenapa transaksi ini dibolehkan?
Ada dua pendapat ulama dalam memahami kasus jual beli salam,
Pertama, bahwasanya salam itu pengecualian. Ulama menyebutnya khilaf al-Qiyas (tak sejalan yang dengannya qiyas). Lantaran keluar dari kaidah umum serta peraturan syariat terkait jual beli. Seharusnya, menjual barang yng tak dimiliki hukumnya terlarang. Baik tunai, ada uang ada barang ataupun satu dari sekian banyaknya tertunda.
Akan tetapi transaksi salam diperbolehkan, lantaran ada dalil yng membolehkannya serta mengingat kebutuhan masyarakat bagi atau bisa juga dikatakan untuk melakukan transaksi ini. Malah sebagian beranggapan bahwasanya transaksi salam merupakan jual beli gharar yng dibolehkan lantaran hajat. (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, edisi ix)
Kedua, bahwasanya bai’ salam tak mampu disebut khilaf qiyas. Lantaran dalam syariat, tak ada istilah khilaful qiyas. Andai ada peraturan syariat yng dianggap khilaf qiyas, ada 2 mungkin:
[1] Proses qiyasnya yng keliru, menjadikan analogi yng di lakukan tak sejalan
[2] Ataupun hukum pada kasus itu tak didukung dalil yng shahih.
Baca pun : 11 Semisal Kesempatan Bisnis Cemilan yng Disukai Seluruh Kalangan
Dalam Majmu’ al-Fatawa, Syaikhul Islam menjelaskan pendekatan bagi atau bisa juga dikatakan untuk transaksi salam.
Beliau mengatakan,
Pernyataan bahwasanya salam itu keringanan (rukhsah) dari syariat merupakan perkataan sebagaian ulama serta tak ada alam hadis. Orang-orang mengatakan, bahwasanya salam merupakan seseorang menjual barang yng tak dia punyai, menjadikan berseberangan yang dengannya qiyas. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang yng tak dimiliki, sebagaimana dalam hadis Hakim bin Hizam.
Sementara hakekat jual beli salam ada 2 mungkin,
[1] Menjual barang yng telah tertentu (mu’ayyan), menjadikan dia menjual barang orang lain sebelum dia beli. Ini bukan jual beli salam, serta ini yng dilarang dalam hadis Hakim bin Hizam.
[2] Ataupun menjual barang yng mampu diserahkan, meskipun telah dijamin. Serta ini dia pengertian yng tepat bagi atau bisa juga dikatakan untuk jual beli salam. Orang yng melakukan transaksi salam dia sudah memberi jaminan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendatangkan barang.
Lebih lanjut Syaikhul Islam mengatakan,
Andai itu di lakukan dalam tempo tertentu, maka Bagi atau bisa juga dikatakan untuk salam yang dengannya rentang waktu tunda, statusnya merupakan utang. Semisal menjual barang, akan tetapi pembayarannya tertunda. Lalu apa bedanya antara barang yng tertunda ataupun pembayaran yng tertunda, sementara keduanya dijamin?
Lantas beliau membawakan firman Allah,
Andaikan anda sekalian berutang hingga batas waktu tertentu maka catatlah… (QS. al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas pernah mengatakan,
Saya bersaksi bahwasanya jual beli salam yng dijamin, hukumnya halal didasari al-Quran. Lalu beliau membaca ayat di atas.
Lantaran itu, transaksi salam yng hukumnya mubah, sejalan yang dengannya qiyas serta tak bertentangan yang dengannya qiyas. (Majmu’ Fatawa, 20/529)
Kedua, Bai’ Fudhuli
Kata fudhuli turunan dari kata fadhl, yng pengertiannya kelebihan. Sementara secara istilah, para ulama menyebutkan, Mentransaksikan hak orang lain, tanpa izin secara syar’i ataupun lantaran statusnya menjdai wali (pengurus) orang lain. (al-Bahr ar-Raiq, 6/160).
Kaitannya yang dengannya makna bahasa, orang yng melakukan jual beli fudhuli, dia melakukan perbuatan yng itu bukan urusannya.
Mengenai hukum Bai’ Fudhuli, ada dua keadaan:
[1] Andai pemilik barang tak merelakan barangnya dijual orang lain, ataupun uangnya dipakai orang lain maka transaksinya batal yang dengannya sepakat ulama.
[2] Pemilik barang ataupun uang mengizinkan. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk kasus keduanya, apakah transaksinya sah?
Ada dua pendapat ulama,
Pertama, jual beli fudhuli statusnya sah, selama pemilik barang ataupun uang merelakannya.
Ini pendapat Abu hanifah,
Dalam kitab al-Inayah Syarh al-Hidayah dinyatakan,
Orang yng menjual barang milik orang lain tanpa seizinnya, maka pemilik mempunyai hak pilih. Andai dia mau, dia mampu merelakannya. Serta andai dia mau, dia mampu membatalkan transaksi. Ini merupakan pendapat Imam Malik serta Imam Ahmad dalam satu dari sekian banyaknya riwayat. (al-Inayah Syarh al-Hidayah, 9/361).

Kedua, bai’ fudhuli statusnya batal, sekalipun pemiliknya merelakan.
Ini merupakan pendapat Imam as-Syafii dalam pendapat baru serta Imam Ahmad dalam satu dari sekian banyaknya riwayat.
Lanjutan keterangan dalam al-Inayah Syarh al-Hidayah,
Sementara Imam as-Syafii rahimahullah mengatakan, Jual belinya tak sah, lantaran dia tak mempunyai izin secara syar’I disaat melakukan akad. Lantaran izin syar’I bagi atau bisa juga dikatakan untuk akad merupakan yang dengannya mempunyai barang ataupun yang dengannya izi pemiliknya. Sementara keduanya tak ada. Serta transaksi tak sah kecuali yang dengannya al-Qudrah as-Syar’iyah (keadaan yng diizinlan syariah). (al-Inayah Syarh al-Hidayah, 9/361).
Pendapat yng lebih mendekati merupakan pendapat pertama. Serta ini yng dinilai kuat oleh Syaikhu Islam. (Majmu al-Fatawa, 20/578)
Diantara dalil yng mendukung pendapat ini merupakan hadis ihwal Urwah al-Bariqi. Sahabat yng dipeseni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi atau bisa juga dikatakan untuk membeli seekor kambing seharga 1 dinar. Akan tetapi oleh Urwah, uang ini dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk membeli 2 ekor kambing. Disaat di perjalanan pulang, ada orang yng menawar satu dari sekian banyaknya kambingnya. Lantas oleh urwah dijual seharga 1 dinar. Pulanglah Urwah menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya membawa seekor kambing serta uang 1 dinar. Oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Urwah didoakan keberkahan. Sampai-sampai seorang sahabat mengatakan, semisal Urwah menjual pasir, pasti dia akan untung. (HR. Bukhari 3443, Turmudzi 1304 serta yng lain-lainnya).
Dalam hadis ini, Urwah membelanjakan harta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diluar tugas yng diamanahkan kepadanya. Disaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merelakannya, transaksi Urwah tak dibatalkan. Mudah-mudahan dalam goresan pena ini, Amat memberikan manfaat bagi Sahabat dalam proses transaksi jual beli.
Baca pun : 15 Produk Reseller Usaha Online Yng Akan Laris 2016
Sumber : Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)

Source Article and Picture : www.idepeluangbisnis.info

Seputar Tuntunan Sunnah : Asal Jual Beli Harus dari Pemilik

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Tuntunan Sunnah : Asal Jual Beli Harus dari Pemilik